POLITIZA RELIJIAUN/POLITISASI AGAMA 
IHA INDONESIA


Politisasi Agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan/kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik.
Sebagaimana yang dilansir republika.co.id (16/9/2016) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU menolak politisasi agama jelang pilkada serentak 2017. Isu  tentang suku, ras, agama, antargolongan (SARA) sebaiknya menjadi isu yang dihindari agar pemilihan kepala daerah  menjadi momentum bagi rakyat menentukan pemimpin berdasarkan rekam jejak dan kinerja. “Kita menolak politisasi agama untuk mendapatkan kepentingan politik,” kata Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad dalam diskusi bertajuk “Pilkada Sehat dan Cerdas Tanpa Sara”, Kamis (15/9) di Jakarta.
Kita tentu tidak setuju kalau agama hanya digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan pemilu. Apalagi kemudian setelah menang pemilu, agama ditinggalkan seperti yang selama ini terjadi. Tradisi elit-elit politik cenderung mendadak Islami menjelang pemilu. Mulai dari pakai kopiah, sholat jum’at, sampai kunjungan ke pesantren, Greja, dan lain-lain. Setelah menang pemilu, rakyat membutuhkan pemimpin bukan sekedar janji di kampanye, tapi pemimpin bijak secara politik, implementasi program yang telah dijanjikan pada saat pemilu, pemimpin yang mau menerapkan nilai-nilai agama yang jujur, benar, dan berkeyakinan pada TUHAN, pemimpin yang mau mencampakkan ideologi dan sistem kapitalisme.
Dalam sistem demokrasi memang mensyaratkan sekulerisme secara mutlak. Luthfie asy-Syaukanie dalam artikel bertajuk Berkah Sekulerisme. Di dalamnya terdapat pernyataan sebagai berikut, “Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.”
Dalam demokrasi, andaipun tidak disingkirkan, maka agama akan dipaksa untuk ditafsirkan ulang agar sesuai dengan keinginan demokrasi. Seperti yang ditulis Nader Hashemi seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam, University of Denver. Dalam bukunya Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal ia menyatakan bahwa “reinterpretasi ide-ide keagamaan menjadi amat penting bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif”.

Harus diakui bahwa bangsa Indonesia-yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan ini- belum mampu menciptakan kehidupan rukun. Propaganda toleransi dan kebebasan beragama sudah lama diserukan kepada masyarakat.  Namun, kenyataannya tindak intoleran masih kerap terjadi.  Tentu saja, hal ini terjadi bukan semata-mata karena masyarakat tidak mengetahui soal toleransi.  Namun, yang sebenarnya terjadi adalah rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di negeri Indonesia.  Diantaranya adalah karena pemerintah tidak tegas dalam menegakkan peraturan kehidupan beragama, berpolitik, konstitusi yang sangat lemah, juga karena masyarakat tidak puas hidup dalam sistem yang tidak memberikan keadilan bagi kehidupan beragama.  Kasus pilkada Gubernur Jakarta menjadi salah satu contoh yang meresahkan umat beragama di Indonesia pada umumnya dan di Jakarta pada khususnya. Politisasi agama semakin menguat ketika para elit politik Negara Indonesia memainkan perannya di pilkada gubernur Jakarta. Ada yang menuduh bahwa Susilo Bambang Y. adalah aktor dibalik demo 212 terhadap ucapan Calon Gubernur (Ahok). Sangat disayangkan apabila masyarakat yang belum sadar dengan kondisi dan situasi ini. Demonstrasi yang dilakukan pada tanggal 21 Februari 2017 atau Demo 212 merupakan suatu aksi untuk menhakimi Calon Gubernur “Ahok-nonmuslim” pada pemilu Gubernur Jakarta. Nama yang mencuat dibalik demo 212 adalah Rizieq Shihab, Rizieq Shihab menjadi actor penting dalam aksi ini. Sangat disayangkan di Negara yang berideologi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika yang menjadi payung persatuan NKRI malah dimamfaatkan oleh kelompok tertentu untuk merobohkan kesatuan dan persatuan NKRI. Namun kondisi tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari sistem sekuler yang menjadi poros berjalannya semua peraturan dan tatanan. 

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara. Apabila mengacu pada nilai-nilai demokrasi maka bisa dikatakan nilai demokrasi menurun derastis di NKRI karena mengacu pada fakta yang ada.   Dan saat negara tidak mampu membina, bahkan terkadang arogan dalam menyelesaikan persoalan antar pemeluk agama, maka tindakan intoleransi kerap menjadi jalan keluar secara spontanitas.  Ini berarti intoleransi sesungguhnya merupakan persoalan sistemik. Beruntung sebagian masyarakat Indonesia masih sadar dengan politisasi agama yang terjadi beberapa bulan ini sehingga isu politisasi agama bisa direda dan ditantang guna keutuhan dan kesatuan NKRI. Namun tetap menjadi perhatian bagi mereka yang non-muslim karena isu ini begitu kuat di Ibu Kota Indonesia (Jakarta). Apalagi masyarakat Indonesia bagian timur merasa terpukul dengan Isu politisasi agama ini. Harapan kedepan, semoga isu politisasi agama tidak terulang lagi demi terwujudnya perdamaian dan kesatuan Indonesia.

Hakerek na’in:

(Martinho Noronha Dos Santos)   


17/3/2017

Komentar

Postingan Populer