BAB I
PENDAHULUAN

PERANAN DEWAN KEAMANAN (DK) PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) DALAM MENANGANI KONFLIK INTERNASIONAL ANTARA ISRAEL DENGAN PALESTINA


A.    Latar Belakang Masalah
       Dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegara ialah berdaulat, makmur dan sejahtera serta patuh pada peraturan yang berlaku. “Sebagian besar Negara mungkin bersahabat, tidak mengancam dan mencintai perdamaian.”[1] Tetapi, sebagian kecil Negara mungkin bermusuhan dan agresif, dan tidak ada pemerintahan dunia yang mencegah mereka. Hal itu menimbulkan masalah lama dan mendasar pada sistem Negara “keamanan nasional”.
       “Lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai suatu organisasi internasional membawa harapan-harapan baru bagi masyarakat internasional di bidang Perdamaian dan Keamanan Internasional”.[2] Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih dikenal dengan United Nations Organization (UNO) lahir pada tanggal 24 Oktober 1945 setelah diratifikasinya Piagam PBB yang mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum internasional, oleh Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok Nasionalis, Rusia, dan Perancis. Pertahanan keamanan dan perdamaian dunia masih merupakan harapan Negara-negara dunia. Berjuta-juta penduduk menderita karena perang, tirani, fanatisme, ketidakadilan ekonomis, konflik sosial, politik serta persebaran senjata-senjata pemusnah massal masih tertimbun di berbagai tempat di dunia.
       Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan organisasi internasional yang mampu menunjukan sebagai organisasi yang tahan waktu (tested the time), karena telah membuktikan dapat menghindarkan adanya suatu perang baru sebagaimana telah menjadi suatu tekat bersama dari semua bangsa yang berkumpul di San Fransisco tahun 1945 dengan merumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (to save succeeding generations from the scourge of war). Piagam PBB yang terdiri dari 111 Pasal telah meletakkan tujuan pokok dan prinsip-prinsipnya yang mulia dalam usaha memelihara perdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan persahabatan dan kerjasama internasional di semua bidang serta menjadi pusat untuk menyelaraskan segala tindakan-tindakan bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. PBB juga mempunyai enam organ utama yang dibentuk untuk menjalankan misi sebagaimana dimaksud dalam tujuan berdirinya PBB.Keenam organ tersebut ialah; a). Majelis Umum, b). Dewan Keamanan, c). Dewan Ekonomi dan Sosial, d). Sekretariat, e). Mahkamah Internasional, f). Dewan Perwalian PBB. Dalam menjalankan tugasnya masing-masing organ tersebut mempunyai peranan masing-masing.
       “Pada ketetapan-ketetapan Piagam mengenai Peranan Dewan Keamanan PBB mencatat pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional sebagai tujuan pertama organisasi.”[3] Piagam ini menguraikan dua cara pokok kearah pencapaian tujuan ini, yaitu langkah-langkah kolektif untuk mencegah atau menghilangkan ancaman perdamaian secara menindak tindakan-tindakan agresi dan pelanggaran-pelanggaran perdamaian dan penyelesaian perselisihan-perselisihan internasional dengan cara-cara damai.  Pengaturan persenjataan dibuat sebagai tambahan yang dilaksanakan setelah keefektifan sistem penyelenggaraan perdamaian telah terjamin dengan penempatan pasukan-pasukan bersenjata beserta fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk melayani Dewan Keamanan. Salah satu tujuan pengaturan persenjataan yang dinyatakan sebagai “paling tidak” mengalihkan alat-alat perang dari sumber-sumber kehidupan manusia dan “ekonomi dunia” adalah konsisten dengan syarat-syarat perdamaian dan keamanan internasional.
    Dewan Keamanan berhak menganjurkan pihak-pihak yang terlibat untuk mencari mufakat melalui cara damai, dalam berbagai hal, Dewan Keamanan sendiri melakukan penyelidikan dan perundingan. Dewan Keamanan boleh jadi mengangkat utusan khusus atau meminta Sekretaris Jenderal sebagai utusan atau memanfaatkan jasa-jasa baik beliau. Dewan Keamanan juga bisa menentukan prinsip-prinsip untuk penyelesaian konflik.[4]

       Agar maksud dan tujuan dapat tercapai serta terlaksana, Dewan Keamanan PBB selalu terlibat dalam upaya mencari solusi setiap terjadinya konflik di sebuah wilayah Negara anggota terlebih khususnya konflik antara Israel dengan Palestina. Meningkatnya konflik Israel-Palestina menimbulkan krisis kemanusiaan yang besar, begitu pula kekejaman yang dilakukan pasukan Zionis Israel terhadap warga sipil Palestina mengundang kemarahan masyarakat tidak hanya di kalangan masyarakat Palestina melainkan masyarakat dari berbagai Negara di belahan dunia.
    Juru bicara Hamas di jalur Gaza, pada waktu itu Abdul Aziz Al-Rantisi sempat mengancam bahwa semua politisi Israel, termasuk para menteri dan anggota Knesset (Parlemen), “Hill be legitimate targets for our martyrdom operations”.Yang dimaksud “Martyrdom operations” (Operasi Jihad) disini tidak oleh apa yang dari media masa disebut sebagai “bom bunuh diri”. Operasi Jihad yang pada umumnya dilancarkan oleh para aktivis Palestina, memang terbukti cukup ampuh untuk membalas kebrutalan pasukan Zionis yang didukung peralatan militer yang ultramodern.[5]

       Tugas utama Dewan Keamanan PBB terhadap konflik Israel-Palestina merupakan suatu Tanggung jawab Dewan Keamanan untuk menyelamatkan tragedi kemanusiaan, pengusiran, blokade bantuan makanan terhadap warga sipil Palestina. Namun tugas tersebut juga masih dipertanyakan sebab banyak resolusi yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB kepada Israel-Palestina. Tetapi oleh pihak Palestina ditolak karena Resolusi gencatan senjata bagi Palestina mengandung kelemahan, bahwa resolusi tersebut tidak dikonsultasikan dengan pihak Palestina. Bukan hanya Palestina yang menentang resolusi DK PBB, Namun, pihak yang paling melawan dan meremehkan keputusan Dewan Keamanan PBB ialah Israel. Salah satu resolusi yang ditolak ialah Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 dan 338. PBB telah terlibat dalam setiap upaya negosiasi Israel-Palestina, keterlibatan PBB tersebut telah dimulai sejak tahun 1947 yaitu pemisahan Palestina menjadi dua Negara Yahudi dan Negara Arab melalui Resolusi 181.
    Ada pula Resolusi DK PBB yang di diberikan kepada Israel dan Palestina yakni Resolusi DK PBB No 1860. Dalam resolusi tersebut terdapat tujuh butir resolusi yakni; 1) Pihak-pihak yang bertikai bersedia mengadakan gencatan senjata dan Israel mundur dari Gaza, 2) Penyaluran bantuan kemanusiaan ke Gaza hendak tidak di hambat, 3) Semua anggota PBB diminta membantu upaya internasional mengatasi situasi perekonomian di Gaza, 4) Mengutuk semua bentuk kekerasan dan terorisme terhadap warga sipil, 5) Menyerukan kepada para anggota PBB agar meningkatkan upaya guna memberikan pengaturan dan jaminan di Gaza bagi suatu gencatan senjata yang langgeng, 6) Mendorong dialog antara Israel-Palestina, 7) mendorong upaya penciptaan perdamaian yang menyeluruh Israel-Palestina atas dasar dua Negara.[6]

       Sebagai respon atas resolusi tersebut, angkatan bersenjata Israel justru menggencarkan serangan mereka terhadap sasaran-sasaran yang diperkirakan menjadi fasilitas yang digunakan oleh Hamas untuk meluncurkan roket ke wilayah-wilayah Israel. Menurut pemerintah Israel resolusi PBB itu tidak efektif menghentikan aksi serangan Hamas sehingga serangan militer tidak akan dihentikan. Israel baru akan berhenti apabila merasa telah berhasil mengakhiri aksi roket Hamas. Sementara itu, Hamas juga tidak bersedia mematuhi resolusi tersebut karena kelompok Hamas tidak dilibatkan dalam upaya diplomasi di Dewan Keamanan PBB. Selain itu Hamas menilai tuntutan mereka agar semua jalur lintasan di perbatasan Gaza dibuka (karena ditutup oleh Israel dan mesir) tidak dipenuhi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor tidak berakhirnya perang Israel-Palestina.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas maka, penulis dapat menemukan suatu rumusan masalah yakni:
1.   Faktor-faktor apa yang mempengaruhi sehingga konflik antara Israel dengan Palestina belum terselesaikan hingga sekarang? 
2.   Bagaimana peranan Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam menangani konflik tersebut?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada  penelitian ini adalah:
1.   Tujuan Obyektif:
a)      Untuk mengetahui dan memahami apa yang menjadi dasar munculnya konflik antara Israel dengan Palestina?
b)      Untuk mengetahui dan memahami  akibat-akibat yang timbul dalam konflik yang berlangsung di wilayah tersebut, dan peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa dalam menangani konflik tersebut.
2.    Tujuan Subyektif
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Universitas Janabadra.
D.    Manfaat Penelitian
       Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya mahasiswa dan pelajar mengenai konflik yang terjadi di belahan bumi Timur tengah khususnya di Palestina dan Israel.
E.     Tinjauan Pustaka
    Perkembangan organisasi internasional merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan nyata yang timbul dari pergaulan internasional ketimbang karena pertimbangan filosofi atau ideologi mengenai gagasan pemerintah dunia. Pertumbuhan pergaulan internasional, dalam arti perkembangan hubungan-hubungan antara rakyat yang beragam, merupakan suatu ciri konstan dari peradaban yang matang, kemajuan dalam bidang mesin-mesin komunikasi yang ditambah dengan hasrat untuk berdagang demi menciptakan suatu tingkat hubungan yang pada akhirnya memerlukan pengaturan melalui cara-cara kelembagaan. [7]
       Kegagalan Liga Bangsa-bangsa mencegah perang dunia ke-2 tidak melenyapkan keyakinan, seperti yang sering dikemukakan, bahwa hanya oleh suatu bentuk organisasi publik Negara-negara dapat mencapai suatu sistem keamanan kolektif yang dapat melindungi masyarakat internasional dari bencana perang. Negara-negara pada tahun 1941, menamakannya “The United Nations” atau Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pada tahun 1943 Deklarasi Moskow mengakui “perlunya mendirikan suatu organisasi internasional publik yang dapat bekerja dalam waktu segera, yang didasarkan atas prinsip persamaan kedaulatan dari seluruh Negara yang cinta damai, besar maupun kecil, untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”.
    Formulasi suatu rencana bagi sebuah organisasi diperbaharui dalam beberapa tahap, di Teheran tahun 1943, di Dumbarton Oaks tahun 1944, di Yalta tahun 1945 dan akhirnya dalam Konferensi San Fransisco tahun 1945 dimana 50 pemerintah, dengan dasar proposal Dumbarton Oaks yang dipersiapkan oleh Empat Negara sponsor, bersama-sama menyusun Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa. [8]

       “Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi internasional yang paling besar selama ini dalam sejarah pertumbuhan kerjasama semua bangsa di dunia di dalam berbagai sektor internasional.”[9] Organisasi ini telah meletakkan kerangka Charter sebagai Konstiutsi melalui suatu instrument pokok berupa Piagam dengan tekad semua anggotanya untuk menghindari terulangnya ancaman perang dunia yang pernah dua kali terjadi dan telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia.
       Charter itutentu merupakan suatu perjanjian Multilateral yang menetapkan atau menyatakan kembali hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara-negara penandatangan, tapi Charter ini tidak memperkenankan reservasi atau penghindaran (denunciation). Namun, meski tidak ada suatu klausula “with drawal”, dapat disimpulkan bahwa secara hukum dapat menarik diri setelah memenuhi kewajiban sebagaimana telah ditentukan seperti komitmen-komitmen keuangannya. Namun demikian suatu tindakan pengunduran diri secara politis lebih sukar daripada yang terjadi pada kasus Liga Bangsa-Bangsa dan kemungkinan besar dengan keluarnya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa secara politis tidak akan menguntungkan, ini merupakan gejala relatif karena pentingnya peranan yang dimainkan Perserikatan Bangsa-bangsa dalam hubungan internasional daripada yang terjadi dalam Liga. Jika hal ini benar, maka penangguhan hak-hak dan hak-hak istimewa suatu negara terhadap mana Dewan Keamanan melakukan tindakan preventif atau pelaksanaan seperti yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa:
Pasal 5: Setiap anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenakan tindakan pencegahan atau kekerasan oleh Dewan Keamanan dapat dikenakan penanguhan hak-hak dan hak-hak istimewanya sebagai anggota oleh Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penggunaan hak-hak dan hak-hak istimewa tersebut dapt dipulihkan kembali oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 6: Setiap anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkali-kali melanggar azas-azas sebagaimana tercantum dalam Piagam dapat dikeluarkan dari Organisasi oleh Majelis umum atas anjuran Dewan Keamanan dapat dipandang sebagai sanksi yang sangat nyata. [10]

Dewan Keamanan dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat Negara-negara anggota, tetapi yang terutama, Charter menentukan bentuk-bentuk khusus kerjasama antar Negara-negara berdaulat, menambah metode-metode tradisisonal bagi pergaulan antara Negara, serta memperluas ke bidang-bidang hubungan sosial  dan eknomi yang berada di luar sistem keamanan kolektif yang baku.[11]
       Hal tersebut dilakukan atas dasar kerjasama sukarela oleh para anggota dan “perintah-perintah” hanya dilakukan dalam hal tindakan pelaksaan khusus melalui Dewan Keamanan. Kepercayaan atas kerjasama ini dapat dipandang sebagai pembatasan atas wewenang organisasi. Selanjutnya, setiap anggota tetap berdaulat, organisasi itu sendiri tidak memiliki kompetensi dalam masalah-masalah yang berada dalam yurisdiksi domestik suatu Negara, yaitu terdapat dalamPasal 27:
    Tidak ada ketentuan dalam Charter ini yang akan memberi kewenangan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa dalam masalah-masalah yang sepenuhnya berada dalam yurisdiksi domestik suatu Negara atau keharusan yang meminta para anggota untuk mengajukan masalah-masalah tersebut untuk diselesaikan berdasarkan Charter ini, tetapi prinsip ini tidak akan menyampingkan penerapan tindakan-tindakan pelaksanaan menurut Bab VII.

       Pembatasan umum kedua terhadap wewenang organisasi berasal dari prinsip hukum perjanjian biasa, “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”, Charter sebagai suatu bentuk perjanjian tidak dapat mengikat mereka yang bukan anggota. Oleh karena itu, secara umum keharusan menjalankan landasan kewajiban-kewajiban dalam Charter, yang berada diluar kewajiban-kewajiban hukum internasional umum, tidak mengikat terhadap mereka yang bukan anggota. Namun, dalam Pasal 2 (6) dikatakan bahwa: “Organisasi ini akan menjamin agar Negara-negara yang bukan anggota Perserikatan Bangsa-bangsa bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip ini sedapat mungkin apabila dianggap perlu untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”. Meskipun hal ini menggambarkan suatu variasi teknis dari dalil tersebut diatas, kebenaran politis untuk menegakkan primat (primacy) kepentingan organisasi dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional tidak dapat disangkal lagi. Resolusi 232 (1966) Dewan Keamanan, yang mengenakan sanksi ekonomi terhadap Rhodesia, secara tegas meminta diberlakukannya Pasal 2 (6) kepada negara yang bukan anggota dan mendesak negara-negara untuk bertindak sesuai dengan ketentuan pasal tersebut.[12] Yang diperlukan disini adalah sebuah organ eksekutif kecil, berfungsi secara kontinu dan dapat mengambil keputusan secara cepat dan efektif agar dapat melaksakan perangkat pemaksaan (enforcement machinery) dari Bab II Charter manakala Perdamaian dan Keamanan internasional terancam.
       Barangkali ada benarnya bahwa Dewan Keamanandalam prakteknya, tidak menjadi organ yang demikian, pembahasan ini akan memperlihatkan bahwa suatu kegagalan merupakan akibat dari sikap para anggotanya daripada karena kelemahan konstitusional dalam Charter. Pasal 23, yang telah diubah, menyatakan bahwa Dewan Keamanan terdiri atas 15 anggota dalam mana lima diantaranya merupakan anggota-anggota “tetap” yaitu China, Perancis, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat. Kelima anggota tetap ini menikmati status luar biasa (eksepsional) tidak hanya berdasarkan atas kepermanenannya saja akan tetapi juga oleh alasan-alasan hak suara khusus antara lain, terutama adalah kekuasaan “veto”. Alasan sah bagi pemberian status luar biasa untuk lima anggota tetap ini tidak terletak dalam “ inescapable fact of powers differentials” mengutip istilah JESSUP. Dengan perkataan lain, dasar pikiran yang melandasinya yaitu bahwa pada anggota-anggota inilah dibebankan tanggung jawab terberat untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan oleh karena itu mereka harus diberikan hak suara final dan menentukan dalam memutuskan tentang bagaimana tanggung jawab itu harus dilaksanakan. Akhirnya, semua negara penandatangan Charter telah sepakat mengenai sistem yang mungkin sebaliknya (yaitu jika misalnya tidak ada perjanjian demikian) justru bertentangan dengan prinsip “persamaan kedaulatan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa” yang menjadi landasan organisasi (Pasal 2 (1)).
    Kesepuluh anggota Dewan Keamanan lainnya, anggota-anggota tidak tetap, dipilih untuk masa jabatan dua tahun melalui Majelis Umum, dan tidak dapat secepatnya dipilih kembali pada pemilihan periode berikutnya. Agar terjamin kontinuitas tertentu, pemilihan itu dilakukan secara bergilir, setiap tahun dipilih lima anggota dengan melalui 2/3 suara mayoritas pemilih. Pasal 23 menyebutkan kriteria tertentu yang dipakai dalam pemilihan-pemilihan ini, yaitu sumbangan terhadap “pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan kepada tujuan-tujuan lain dari organisasi” dan “distribusi geografis yang adil”. Dari sepuluh kursi yang tersedia saat ini dibagi menurut formasi berikut: Afro-Asia (5 kursi), Eropa Timur (1 kursi), Amerika Latin (2 kursi), Eropa Barat dan lainnya (2 kursi). Alokasi ini didasarkan atas relokasi no. 1991 (XVIII) A Majelis Umum dan bukan atas protokol perubahan. Bagaimanapun jelas bahwa formulasi sekarang ini menggantikan“gentlement’s agreement” 1946 sebelumnya.[13]
        Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) khususnya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) mempunyai peranan sangat penting untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini akan diuji dengan konflik antara Israel dengan Palestina yang terjadi tidak mengenal waktu kapan akan berakhir, dan bagaimana caranya harus mengakhiri konflik tersebut. “Konflik Israel-Palestina adalah bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas merupakan konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.[14]
       Masyarakat Israel dan Palestina hidup dalam suatu wilayah bagaikan musuh dalam selimut, kecemasan dan ketakutan selalu menghantui masyarakat wilayah tersebut, bagaimana tidak,sepanjang kegiatan sehari-hari mereka selalu mendengar dan melihat suara gemuruh senjata dan korban jiwa yang tidak berdosa.
       Palestina merupakan tanah yang “panas”.Sebab, sejarah mencatat bahwa sejak jaman kenabian, tanah tersebut hampir selalu diliputi konflik.Sejak jaman Nabi Ibrahim yang menempati tanah Palestina, konflik terus berkecamuk di negeri tersebut. Sudah tak terhitung lagi berapa konflik dan permusuhan yang terjadi. Tanah Palestina sejak jaman dahulu menjadi perhatian Allah. Allah merahmati buminya, Allah melindunginya dengan banyak malaikat, sebagian tanah yang dijanjikan dan keistimewaan lainnya.
Konflik antara Israel dengan Palestina yang terjadi sekarang tepatnya berada di jalur Gaja antara tentara Zionis dengan pejuang Hamas merupakan suatu konflik yang berlangsung karena wilayah, dimana masyarakat kedua bangsa tersebut beranggapan bahwa wilayah itu adalah tanah yang diwariskan oleh nenek moyang dan Tuhan mereka.
       Banyak keajaiban yang terjadi di wilayah tersebut seperti yang telah dibahas diatas, namun secara realitas masyarakat wilayah tersebut tentunya membutuhkan bantuan keamanan dari Negara lain atau Organisasi yang mempunyai power bisa menyelesaikan konflik kedua bangsa tersebut. Masyarakat internasional sadar bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan Organisasi yang mempunyai misi untuk memberikan keamanan dan perdamaian internasional, oleh sebab itu harapan masyarakat agar konflik tersebut bisa diselesaikan PBB dalam jangka waktu yang singkat, walaupun dalam proses penyelesaiaannya membutuhkan waktu dan proses yang tidak mudah.
    Salah satu sumber terpercaya mengatakan bahwa konflik tersebut berawal saat gerakan Zionis memulai operasi pembersihan etnis di Palestina pada awal Desember 1947, Palestina terdiri dari populasi “campuran” Palestina dan Yahudi. Penduduk asli Palestina terdiri dari dua pertiga mayoritas, berkurang dari sembilan puluh persen pada awal mandate. Sepertiganya ialah Yahudi, yaitu pemukim Zionis dan pengungsi perang Eropa, kebanyakan datang ke Palestina sejak 1920-an. Kira-kira pada akhir abad ke-19, penduduk asli Palestina sedang mencari hak penentuan diri sendiri, pertama-tama dengan identitas pan-Arab, tapi kemudian setelah perang dunia pertama lewat sistem mandate yang berjanji untuk memimpin Negara yang baru dibuat di Timur Tengah untuk merdeka dan meraih masa depan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Namun piagam mandat Inggris untuk Palestina juga tergabung secara borongan dengan Deklarasi Balfour tahun 1917 dan bersamanya Inggris berjanji kepada gerakan Zionis untuk mengamankan “tanah air” bagi Yahudi di Palestina.[15]

       Hal tersebut menjadi salah satu latar belakang memicunya konflik antara Israel dengan palestina. Timur Tengah memiliki makna penting bagi Israel dan Amerika seusai Perang Dunia ke-2, sesaat itu, mereka mulai merasakan keuntungan-keuntungan adanya sumber minyak di kawasan teluk. Sejak saat itulah mereka memutuskan bahwa Timur Tengah tidak bisa lagi diabaikan dan mereka mulai mengarahkan diri pada kawasan tersebut. Timur Tengah adalah sumber daya terbesar bagi kekuasaan strategis. Amerika Serikat sangat menyadari bahwa kendali persediaan minyak di Timur Tengah merupakan sarana untuk mengendalikan dunia. Karena menyadari potensi Timur Tengah, Amerika pun merancang berbagai strategi dan rencana untuk mengendalikan kawasan itu. Sementara, gagasan pemberian tanah bagi bangsa Yahudi dikemukakan Perdana Menteri Inggris, Henry Bannerman, pada tahun 1906:
 ada sebuah bangsa (bangsa Arab atau umat Islam) yang mengendalikan kawasan yang kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki satu keyakinan, satu bahasa, sejarah, dan aspirasi yang sama. Tak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lain. Jika, suatu saat, bangsa ini menyatukan dirinya dalam satu negara, maka nasib dunia akan berada di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah organ asing harus di tanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian yang tak kunjung henti. Organ ini juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek yang diinginkannya.[16]
        Berbagai pemikiran dan statement yang telah dipaparkan diatas bisa jadi referensi bagi kita bahwa Konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina khususnya antara pejuang Hamaz dengan pasukan Zionis Israel merupakan konflik yang berkelanjutan dan belum bisa dilesaikan hingga sekarang.
       Untuk mengakhiri konflik itu, berbagai upaya perdamaian telah dilakukan,tetapi, sekian banyak upaya itu sebenarnya hanyalah kamuflase, ketegangan, perselisihan, dan permusuhan masih tetap terjadi, ada yang salah dengan sistem perjanjian perdamaian itu sehingga harapan untuk berakhirnya konflik dan peperangan di Timur Tengah menjadi sekadar utopia. Usaha perdamaian yang dilakukan hanya bersifat sektoraldan belum mampu mengakomodasi kebutuhan negara-negara di Timur Tengah khususnya Israel-Palestina. Hal ini malah menciptakan perpecahan yang pada gilirannya hanya menguntungkan kaum Yahudi. Israel berjanji akan mengembalikan secara bertahapseluruh daerah Sinai, ladang minyak, serta lapangan udara yang sebelumnya telah dikuasai Israel. Selain itu, mereka pun berjanji akan memberikan hak otonom terhadap jalur Gaza di tepi barat Yordania, namun itu semua hanya tipuan yang mempunyai strategi yang kuat.
D. Metode Penelitian
1.      Sifat  penelitian
       “Penelitian deskriptif ialah suatu jenis penelitian dimana peneliti hanya semata-mata menuliskan keadaan obyekatau peristiwa tanpa maksud menemukan teori yang berlaku secara umum.”[17] Oleh karena itu, penelitian ini hanya akan mengeksplorasi data dari kepustakaan dan disimpulkan, sehingga diperoleh jawaban.
2.      Bahan Penelitian
       Data yang digunakan diperoleh melalui Penelitian Kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan studi pustaka yang terdiri dari:
1)      Bahan Hukum Primer, yaitu berupa Peraturan Perundang-undangan.
2)      Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa teori dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan.
3)      Bahan Hukum Tersier, berupa Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Indonesia, dan Kamus Bahasa Hukum.
4)      Bahan hukum lain yang diperoleh melalui internet.
3. Analisis Data
       Analisis data adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan kemudian disusun berdasarkan analisis deskriptif kualitatif, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu data yang diperoleh di perpustakaan disusun secara sistematis setelah diseleksi berdasarkan permasalahan dan dilihat kesesuaiannya dengan ketentuan yang berlaku selanjutnya disimpulkan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan.




[1] Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi hubungan internasional, Pustaka Pelajar,  Yogyakarta, 2009, hlm. 4-5.
[3] James Barros, PBB dulu kini dan esok, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hlm. 6.
[4]www.peran+dewan+keamanan pbb dalam konflik palestina-israel, Op. Cit. hlm. 5.
[5]Ibid.,hlm. 7.
[6]Ibid.,hlm. 8.
[7]D. W. Bowett Q. C. LL. D, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hlm. 1.
[8]Ibid., hlm. 30.
[9] Sumaryo Suryokusumo, Organisasi Internasional, Universitas Indonesia-Press, Jakarta, 1987, hlm. 1.
[10]Team Media, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Pengadilan              Internasional, Media Centre, -, hlm. 9-10.
[11]D. W. Bowett Q. C. LL. D, Op. Cit., hlm. 31.
[12]Ibid., hlm. 34.
[13]Ibid., hlm.36.
[14]http://www.KonflikIsraeldanPalestinaWikipediabahasaIndonesia, ensiklopediabebas.html,          (diakses tanggal 30 Agustus 2014), hlm. 1.
[15]Ilan Pappe, Pembersihan etnis Palestina,Elex Media Komputindo, Jakarta, 2009, hlm. 45-46.
[16]J.W. Lotz, Para Intelijen Pelindung Yahudi, Pustaka Radja, Yogyakarta, 2010, hlm. 7-9.
[17] Sutrisna Hadi,Metodologi Research,Yayasan Penerbit Psikologi UGM, Yogyakarta, 1984, hlm. 43.


(Martinho Noronha Dos Santos)




















Komentar

Postingan Populer