BAB I
PENDAHULUAN
PERANAN
DEWAN KEAMANAN (DK) PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) DALAM MENANGANI KONFLIK INTERNASIONAL
ANTARA ISRAEL DENGAN PALESTINA
A.
Latar Belakang Masalah
Dasar dari kehidupan berbangsa dan
bernegara ialah berdaulat, makmur dan sejahtera serta patuh pada peraturan yang
berlaku. “Sebagian besar Negara mungkin bersahabat, tidak mengancam dan
mencintai perdamaian.”[1] Tetapi, sebagian kecil
Negara mungkin bermusuhan dan agresif, dan tidak ada pemerintahan dunia yang
mencegah mereka. Hal itu menimbulkan masalah lama dan mendasar pada sistem
Negara “keamanan nasional”.
“Lahirnya
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai suatu organisasi internasional membawa
harapan-harapan baru bagi masyarakat internasional di bidang Perdamaian dan
Keamanan Internasional”.[2] Perserikatan Bangsa-Bangsa
lebih dikenal dengan United Nations
Organization (UNO) lahir pada tanggal 24 Oktober 1945 setelah
diratifikasinya Piagam PBB yang mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum
internasional, oleh Amerika Serikat, Inggris, Tiongkok Nasionalis, Rusia, dan
Perancis. Pertahanan keamanan dan perdamaian dunia masih merupakan harapan
Negara-negara dunia. Berjuta-juta penduduk menderita karena perang, tirani,
fanatisme, ketidakadilan ekonomis, konflik sosial, politik serta persebaran
senjata-senjata pemusnah massal masih tertimbun di berbagai tempat di dunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan
organisasi internasional yang mampu menunjukan sebagai organisasi yang tahan
waktu (tested the time), karena telah
membuktikan dapat menghindarkan adanya suatu perang baru sebagaimana telah
menjadi suatu tekat bersama dari semua bangsa yang berkumpul di San Fransisco
tahun 1945 dengan merumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (to save succeeding generations from the
scourge of war). Piagam PBB yang terdiri dari 111 Pasal telah meletakkan
tujuan pokok dan prinsip-prinsipnya yang mulia dalam usaha memelihara
perdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan persahabatan dan
kerjasama internasional di semua bidang serta menjadi pusat untuk menyelaraskan
segala tindakan-tindakan bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. PBB juga
mempunyai enam organ utama yang dibentuk untuk menjalankan misi sebagaimana
dimaksud dalam tujuan berdirinya PBB.Keenam organ tersebut ialah; a). Majelis
Umum, b). Dewan Keamanan, c). Dewan Ekonomi dan Sosial, d). Sekretariat, e). Mahkamah
Internasional, f). Dewan Perwalian PBB. Dalam menjalankan tugasnya
masing-masing organ tersebut mempunyai peranan masing-masing.
“Pada ketetapan-ketetapan Piagam
mengenai Peranan Dewan Keamanan PBB mencatat pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional sebagai tujuan pertama organisasi.”[3] Piagam ini menguraikan dua
cara pokok kearah pencapaian tujuan ini, yaitu langkah-langkah kolektif untuk
mencegah atau menghilangkan ancaman perdamaian secara menindak
tindakan-tindakan agresi dan pelanggaran-pelanggaran perdamaian dan
penyelesaian perselisihan-perselisihan internasional dengan cara-cara damai. Pengaturan persenjataan dibuat sebagai
tambahan yang dilaksanakan setelah keefektifan sistem penyelenggaraan
perdamaian telah terjamin dengan penempatan pasukan-pasukan bersenjata beserta
fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk melayani Dewan Keamanan. Salah satu
tujuan pengaturan persenjataan yang dinyatakan sebagai “paling tidak”
mengalihkan alat-alat perang dari sumber-sumber kehidupan manusia dan “ekonomi
dunia” adalah konsisten dengan syarat-syarat perdamaian dan keamanan
internasional.
Dewan Keamanan berhak menganjurkan pihak-pihak yang terlibat untuk
mencari mufakat melalui cara damai, dalam berbagai hal, Dewan Keamanan sendiri
melakukan penyelidikan dan perundingan. Dewan Keamanan boleh jadi mengangkat
utusan khusus atau meminta Sekretaris Jenderal sebagai utusan atau memanfaatkan
jasa-jasa baik beliau. Dewan Keamanan juga bisa menentukan prinsip-prinsip
untuk penyelesaian konflik.[4]
Agar maksud dan tujuan dapat tercapai
serta terlaksana, Dewan Keamanan PBB selalu terlibat dalam upaya mencari solusi
setiap terjadinya konflik di sebuah wilayah Negara anggota terlebih khususnya
konflik antara Israel dengan Palestina. Meningkatnya konflik Israel-Palestina menimbulkan
krisis kemanusiaan yang besar, begitu pula kekejaman yang dilakukan pasukan
Zionis Israel terhadap warga sipil Palestina mengundang kemarahan masyarakat
tidak hanya di kalangan masyarakat Palestina melainkan masyarakat dari berbagai
Negara di belahan dunia.
Juru bicara Hamas di jalur Gaza, pada waktu itu Abdul Aziz Al-Rantisi
sempat mengancam bahwa semua politisi Israel, termasuk para menteri dan anggota
Knesset (Parlemen), “Hill be legitimate targets for our martyrdom
operations”.Yang dimaksud “Martyrdom
operations” (Operasi Jihad) disini tidak oleh apa yang dari media masa
disebut sebagai “bom bunuh diri”. Operasi Jihad yang pada umumnya dilancarkan
oleh para aktivis Palestina, memang terbukti cukup ampuh untuk membalas kebrutalan
pasukan Zionis yang didukung peralatan militer yang ultramodern.[5]
Tugas utama Dewan Keamanan PBB terhadap
konflik Israel-Palestina merupakan suatu Tanggung jawab Dewan Keamanan untuk
menyelamatkan tragedi kemanusiaan, pengusiran, blokade bantuan makanan terhadap
warga sipil Palestina. Namun tugas tersebut juga masih dipertanyakan sebab banyak
resolusi yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB kepada Israel-Palestina. Tetapi
oleh pihak Palestina ditolak karena Resolusi gencatan senjata bagi Palestina
mengandung kelemahan, bahwa resolusi tersebut tidak dikonsultasikan dengan
pihak Palestina. Bukan hanya Palestina yang menentang resolusi DK PBB, Namun,
pihak yang paling melawan dan meremehkan keputusan Dewan Keamanan PBB ialah
Israel. Salah satu resolusi yang ditolak ialah Resolusi Dewan Keamanan PBB 242
dan 338. PBB telah terlibat dalam setiap upaya negosiasi Israel-Palestina,
keterlibatan PBB tersebut telah dimulai sejak tahun 1947 yaitu pemisahan
Palestina menjadi dua Negara Yahudi dan Negara Arab melalui Resolusi 181.
Ada pula Resolusi DK PBB yang di diberikan kepada Israel dan Palestina
yakni Resolusi DK PBB No 1860. Dalam resolusi tersebut terdapat tujuh butir
resolusi yakni; 1) Pihak-pihak yang bertikai bersedia mengadakan gencatan
senjata dan Israel mundur dari Gaza, 2) Penyaluran bantuan kemanusiaan ke Gaza hendak
tidak di hambat, 3) Semua anggota PBB diminta membantu upaya internasional
mengatasi situasi perekonomian di Gaza, 4) Mengutuk semua bentuk kekerasan dan
terorisme terhadap warga sipil, 5) Menyerukan kepada para anggota PBB agar
meningkatkan upaya guna memberikan pengaturan dan jaminan di Gaza bagi suatu
gencatan senjata yang langgeng, 6) Mendorong dialog antara Israel-Palestina, 7)
mendorong upaya penciptaan perdamaian yang menyeluruh Israel-Palestina atas
dasar dua Negara.[6]
Sebagai respon atas resolusi tersebut,
angkatan bersenjata Israel justru menggencarkan serangan mereka terhadap
sasaran-sasaran yang diperkirakan menjadi fasilitas yang digunakan oleh Hamas
untuk meluncurkan roket ke wilayah-wilayah Israel. Menurut pemerintah Israel
resolusi PBB itu tidak efektif menghentikan aksi serangan Hamas sehingga
serangan militer tidak akan dihentikan. Israel baru akan berhenti apabila
merasa telah berhasil mengakhiri aksi roket Hamas. Sementara itu, Hamas juga
tidak bersedia mematuhi resolusi tersebut karena kelompok Hamas tidak
dilibatkan dalam upaya diplomasi di Dewan Keamanan PBB. Selain itu Hamas
menilai tuntutan mereka agar semua jalur lintasan di perbatasan Gaza dibuka
(karena ditutup oleh Israel dan mesir) tidak dipenuhi. Hal tersebut menjadi
salah satu faktor tidak berakhirnya perang Israel-Palestina.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas maka, penulis dapat menemukan
suatu rumusan masalah yakni:
1.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi
sehingga konflik antara Israel dengan
Palestina belum terselesaikan hingga sekarang?
2.
Bagaimana peranan Dewan Keamanan (DK)
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
dalam menangani konflik tersebut?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada penelitian ini adalah:
1.
Tujuan Obyektif:
a)
Untuk mengetahui dan memahami apa yang menjadi dasar munculnya konflik antara Israel dengan Palestina?
b)
Untuk mengetahui dan memahami akibat-akibat yang timbul dalam konflik yang berlangsung di wilayah tersebut, dan
peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa dalam menangani konflik
tersebut.
2.
Tujuan Subyektif
Penelitian ini
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Universitas
Janabadra.
D.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya mahasiswa dan
pelajar mengenai konflik yang terjadi di belahan bumi Timur tengah khususnya di
Palestina dan Israel.
E.
Tinjauan Pustaka
Perkembangan organisasi
internasional merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan nyata yang timbul
dari pergaulan internasional ketimbang karena pertimbangan filosofi atau
ideologi mengenai gagasan pemerintah dunia. Pertumbuhan pergaulan
internasional, dalam arti perkembangan hubungan-hubungan antara rakyat yang
beragam, merupakan suatu ciri konstan dari peradaban yang matang, kemajuan
dalam bidang mesin-mesin komunikasi yang ditambah dengan hasrat untuk berdagang
demi menciptakan suatu tingkat hubungan yang pada akhirnya memerlukan
pengaturan melalui cara-cara kelembagaan. [7]
Kegagalan Liga Bangsa-bangsa mencegah
perang dunia ke-2 tidak melenyapkan
keyakinan, seperti yang sering dikemukakan, bahwa hanya oleh suatu bentuk
organisasi publik Negara-negara dapat mencapai suatu sistem keamanan kolektif
yang dapat melindungi masyarakat internasional dari bencana perang.
Negara-negara pada tahun 1941, menamakannya “The United Nations” atau Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pada tahun
1943 Deklarasi Moskow mengakui “perlunya mendirikan suatu organisasi
internasional publik yang dapat bekerja dalam waktu segera, yang didasarkan
atas prinsip persamaan kedaulatan dari seluruh Negara yang cinta damai, besar
maupun kecil, untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”.
Formulasi suatu rencana bagi sebuah
organisasi diperbaharui dalam beberapa tahap, di Teheran tahun 1943, di
Dumbarton Oaks tahun 1944, di Yalta tahun 1945 dan akhirnya dalam Konferensi
San Fransisco tahun 1945 dimana 50 pemerintah, dengan dasar proposal Dumbarton
Oaks yang dipersiapkan oleh Empat Negara sponsor, bersama-sama menyusun Charter
Perserikatan Bangsa-Bangsa. [8]
“Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
merupakan organisasi internasional yang paling besar selama ini dalam sejarah
pertumbuhan kerjasama semua bangsa di dunia di dalam berbagai sektor
internasional.”[9]
Organisasi ini telah meletakkan kerangka Charter sebagai Konstiutsi melalui
suatu instrument pokok berupa Piagam dengan tekad semua anggotanya untuk
menghindari terulangnya ancaman perang dunia yang pernah dua kali terjadi dan
telah menimbulkan bencana seluruh umat manusia.
Charter itutentu merupakan suatu perjanjian Multilateral
yang menetapkan atau menyatakan kembali hak-hak dan kewajiban-kewajiban
negara-negara penandatangan, tapi Charter ini tidak memperkenankan reservasi
atau penghindaran (denunciation).
Namun, meski tidak ada suatu klausula “with
drawal”, dapat disimpulkan bahwa secara hukum dapat menarik diri setelah memenuhi kewajiban sebagaimana telah ditentukan seperti komitmen-komitmen
keuangannya. Namun demikian suatu tindakan pengunduran diri secara politis
lebih sukar daripada yang terjadi pada kasus Liga Bangsa-Bangsa dan kemungkinan
besar dengan keluarnya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa secara politis tidak
akan menguntungkan, ini merupakan gejala relatif karena pentingnya peranan yang
dimainkan Perserikatan Bangsa-bangsa dalam hubungan internasional daripada yang
terjadi dalam Liga. Jika hal ini benar, maka penangguhan hak-hak dan hak-hak
istimewa suatu negara terhadap mana Dewan
Keamanan melakukan tindakan preventif
atau pelaksanaan seperti yang tercantum dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa:
Pasal 5: Setiap anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
dikenakan tindakan pencegahan atau kekerasan oleh Dewan Keamanan dapat
dikenakan penanguhan hak-hak dan hak-hak istimewanya sebagai anggota oleh
Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penggunaan
hak-hak dan hak-hak istimewa tersebut dapt dipulihkan kembali oleh Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 6: Setiap
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkali-kali melanggar azas-azas
sebagaimana tercantum dalam Piagam dapat dikeluarkan dari Organisasi oleh
Majelis umum atas anjuran Dewan Keamanan dapat dipandang sebagai sanksi yang sangat
nyata. [10]
Dewan
Keamanan dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat Negara-negara
anggota, tetapi yang terutama, Charter menentukan bentuk-bentuk khusus
kerjasama antar Negara-negara berdaulat, menambah metode-metode tradisisonal
bagi pergaulan antara Negara, serta memperluas ke bidang-bidang hubungan
sosial dan eknomi yang berada di luar
sistem keamanan kolektif yang baku.[11]
Hal tersebut dilakukan atas dasar
kerjasama sukarela oleh para anggota dan “perintah-perintah” hanya dilakukan dalam
hal tindakan pelaksaan khusus melalui Dewan Keamanan. Kepercayaan atas
kerjasama ini dapat dipandang sebagai pembatasan atas wewenang organisasi.
Selanjutnya, setiap anggota tetap berdaulat, organisasi itu sendiri tidak
memiliki kompetensi dalam masalah-masalah yang berada dalam yurisdiksi domestik
suatu Negara, yaitu terdapat dalamPasal 27:
Tidak ada ketentuan dalam Charter ini yang
akan memberi kewenangan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa dalam masalah-masalah
yang sepenuhnya berada dalam yurisdiksi domestik suatu Negara atau keharusan
yang meminta para anggota untuk mengajukan masalah-masalah tersebut untuk
diselesaikan berdasarkan Charter ini, tetapi prinsip ini tidak akan menyampingkan
penerapan tindakan-tindakan pelaksanaan menurut Bab VII.
Pembatasan umum kedua terhadap wewenang
organisasi berasal dari prinsip hukum perjanjian biasa, “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”,
Charter sebagai suatu bentuk
perjanjian tidak dapat mengikat mereka yang bukan anggota. Oleh karena itu,
secara umum keharusan menjalankan landasan kewajiban-kewajiban dalam Charter,
yang berada diluar kewajiban-kewajiban hukum internasional umum, tidak mengikat
terhadap mereka yang bukan anggota. Namun, dalam Pasal 2 (6) dikatakan bahwa: “Organisasi
ini akan menjamin agar Negara-negara yang bukan anggota Perserikatan
Bangsa-bangsa bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip ini sedapat mungkin
apabila dianggap perlu untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional”.
Meskipun
hal ini menggambarkan suatu variasi teknis dari dalil tersebut diatas,
kebenaran politis untuk menegakkan primat (primacy)
kepentingan
organisasi dalam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional tidak dapat
disangkal lagi. “Resolusi 232 (1966) Dewan Keamanan, yang mengenakan
sanksi ekonomi terhadap Rhodesia, secara tegas meminta diberlakukannya Pasal 2
(6) kepada negara yang bukan anggota dan mendesak negara-negara untuk bertindak
sesuai dengan ketentuan pasal tersebut”.[12] Yang
diperlukan disini adalah sebuah organ eksekutif kecil, berfungsi secara kontinu
dan dapat mengambil keputusan secara cepat dan efektif agar dapat melaksakan
perangkat pemaksaan (enforcement
machinery) dari Bab II Charter manakala Perdamaian dan Keamanan
internasional terancam.
Barangkali ada benarnya bahwa Dewan Keamanandalam
prakteknya, tidak menjadi organ yang demikian, pembahasan ini akan
memperlihatkan bahwa suatu kegagalan merupakan akibat dari sikap para
anggotanya daripada karena kelemahan konstitusional dalam Charter. Pasal 23,
yang telah diubah, menyatakan bahwa Dewan Keamanan terdiri atas 15 anggota
dalam mana lima diantaranya merupakan anggota-anggota “tetap” yaitu China,
Perancis, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat. Kelima anggota tetap ini menikmati status luar biasa (eksepsional) tidak hanya
berdasarkan atas kepermanenannya saja akan tetapi juga oleh alasan-alasan hak
suara khusus antara lain, terutama adalah kekuasaan “veto”. Alasan sah bagi pemberian status luar biasa untuk lima
anggota tetap ini tidak terletak dalam “
inescapable fact of powers differentials” mengutip istilah JESSUP. Dengan
perkataan lain, dasar pikiran yang melandasinya yaitu bahwa pada
anggota-anggota inilah dibebankan tanggung jawab terberat untuk memelihara
perdamaian dan keamanan internasional dan oleh karena itu mereka harus diberikan
hak suara final dan menentukan dalam memutuskan tentang bagaimana tanggung jawab itu harus dilaksanakan. Akhirnya, semua negara
penandatangan Charter telah sepakat mengenai sistem yang mungkin sebaliknya
(yaitu jika misalnya tidak ada perjanjian demikian) justru bertentangan dengan
prinsip “persamaan kedaulatan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa” yang
menjadi landasan organisasi (Pasal 2 (1)).
Kesepuluh anggota
Dewan Keamanan lainnya, anggota-anggota “tidak tetap”, dipilih untuk masa jabatan dua tahun melalui Majelis
Umum, dan tidak dapat secepatnya dipilih kembali pada pemilihan periode
berikutnya. Agar terjamin kontinuitas tertentu, pemilihan itu dilakukan secara
bergilir, setiap tahun dipilih lima anggota dengan melalui 2/3 suara mayoritas
pemilih. Pasal 23 menyebutkan kriteria tertentu yang dipakai dalam
pemilihan-pemilihan ini, yaitu sumbangan terhadap “pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional dan kepada tujuan-tujuan lain dari organisasi” dan
“distribusi geografis yang adil”. Dari sepuluh kursi yang tersedia saat ini
dibagi menurut formasi berikut: Afro-Asia (5 kursi), Eropa Timur (1 kursi),
Amerika Latin (2 kursi), Eropa Barat dan lainnya (2 kursi). Alokasi ini
didasarkan atas relokasi no. 1991 (XVIII) A Majelis Umum dan bukan atas
protokol perubahan. Bagaimanapun jelas bahwa formulasi sekarang ini menggantikan“gentlement’s agreement” 1946
sebelumnya.[13]
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) khususnya Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-bangsa (DK PBB) mempunyai peranan sangat penting untuk menciptakan
perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini akan diuji dengan konflik antara Israel dengan
Palestina yang terjadi tidak mengenal waktu kapan akan berakhir, dan bagaimana
caranya harus mengakhiri konflik tersebut. “Konflik Israel-Palestina
adalah bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas merupakan konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina”.[14]
Masyarakat Israel dan Palestina hidup dalam suatu wilayah bagaikan musuh
dalam selimut, kecemasan dan ketakutan selalu menghantui masyarakat wilayah
tersebut, bagaimana tidak,sepanjang kegiatan sehari-hari mereka selalu
mendengar dan melihat suara gemuruh senjata dan korban jiwa yang tidak berdosa.
Palestina merupakan tanah yang “panas”.Sebab, sejarah
mencatat bahwa sejak jaman kenabian, tanah tersebut hampir selalu diliputi
konflik.Sejak jaman Nabi Ibrahim yang menempati tanah Palestina, konflik terus
berkecamuk di negeri tersebut.
Sudah
tak terhitung lagi berapa konflik dan permusuhan yang terjadi. Tanah Palestina sejak jaman dahulu menjadi perhatian
Allah. Allah merahmati buminya, Allah
melindunginya dengan banyak malaikat, sebagian tanah yang dijanjikan dan
keistimewaan lainnya.
Konflik antara Israel dengan Palestina yang terjadi
sekarang tepatnya berada di jalur Gaja antara tentara Zionis dengan pejuang Hamas
merupakan suatu konflik yang berlangsung karena wilayah, dimana masyarakat
kedua bangsa tersebut beranggapan bahwa wilayah itu adalah tanah yang
diwariskan oleh nenek moyang dan Tuhan mereka.
Banyak keajaiban yang terjadi di wilayah tersebut seperti
yang telah dibahas diatas, namun
secara
realitas masyarakat wilayah tersebut tentunya membutuhkan bantuan keamanan dari
Negara lain atau Organisasi yang mempunyai power bisa menyelesaikan konflik
kedua bangsa tersebut. Masyarakat
internasional sadar bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan Organisasi yang
mempunyai misi untuk memberikan keamanan dan perdamaian internasional, oleh
sebab itu harapan masyarakat agar konflik tersebut bisa diselesaikan PBB dalam
jangka waktu yang singkat, walaupun dalam proses penyelesaiaannya membutuhkan
waktu dan proses yang tidak mudah.
Salah satu sumber terpercaya mengatakan bahwa konflik tersebut berawal
saat gerakan Zionis memulai operasi pembersihan etnis di Palestina pada awal
Desember 1947, Palestina terdiri dari populasi “campuran” Palestina dan Yahudi.
Penduduk asli Palestina terdiri dari dua pertiga mayoritas, berkurang dari
sembilan puluh persen pada awal mandate.
Sepertiganya ialah Yahudi, yaitu pemukim Zionis dan pengungsi perang Eropa,
kebanyakan datang ke Palestina sejak 1920-an. Kira-kira pada akhir abad ke-19,
penduduk asli Palestina sedang mencari hak penentuan diri sendiri, pertama-tama
dengan identitas pan-Arab, tapi kemudian setelah perang dunia pertama lewat
sistem mandate yang berjanji untuk
memimpin Negara yang baru dibuat di Timur Tengah untuk merdeka dan meraih masa
depan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Namun piagam mandat Inggris untuk
Palestina juga tergabung secara borongan dengan Deklarasi Balfour tahun 1917 dan
bersamanya Inggris berjanji kepada gerakan Zionis untuk mengamankan “tanah air”
bagi Yahudi di Palestina.[15]
Hal tersebut menjadi salah satu latar
belakang memicunya konflik antara Israel dengan palestina. Timur Tengah
memiliki makna penting bagi Israel dan Amerika seusai Perang Dunia ke-2, sesaat itu, mereka mulai merasakan keuntungan-keuntungan
adanya sumber minyak di kawasan teluk. Sejak saat itulah mereka memutuskan bahwa Timur Tengah
tidak bisa lagi diabaikan dan mereka mulai mengarahkan
diri pada kawasan tersebut. Timur Tengah adalah sumber daya terbesar bagi
kekuasaan strategis. Amerika Serikat sangat menyadari bahwa kendali persediaan
minyak di Timur Tengah merupakan sarana untuk mengendalikan dunia. Karena menyadari potensi Timur Tengah, Amerika pun
merancang berbagai strategi dan rencana untuk mengendalikan kawasan itu. Sementara, gagasan pemberian tanah bagi bangsa Yahudi
dikemukakan Perdana Menteri Inggris, Henry Bannerman, pada tahun 1906:
ada sebuah bangsa (bangsa Arab atau umat Islam) yang mengendalikan kawasan
yang kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur
perdagangan dunia.
Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan
agama-agama. Bangsa ini memiliki satu keyakinan, satu bahasa, sejarah, dan
aspirasi yang sama. Tak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lain.
Jika, suatu saat, bangsa ini menyatukan dirinya dalam satu negara, maka nasib
dunia akan berada di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian
dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara
seksama, sebuah “organ asing” harus di tanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya
sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian yang tak
kunjung henti. Organ ini juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan
objek-objek yang diinginkannya.[16]
Berbagai pemikiran dan statement yang
telah dipaparkan diatas bisa jadi referensi bagi kita bahwa Konflik yang terjadi antara Israel dengan Palestina khususnya
antara pejuang Hamaz dengan pasukan
Zionis Israel merupakan konflik yang berkelanjutan dan belum bisa
dilesaikan hingga sekarang.
Untuk mengakhiri konflik itu, berbagai upaya perdamaian telah dilakukan,tetapi, sekian banyak upaya
itu sebenarnya hanyalah kamuflase, ketegangan, perselisihan, dan permusuhan
masih tetap terjadi, ada yang salah dengan sistem perjanjian perdamaian
itu sehingga harapan untuk berakhirnya konflik dan peperangan di Timur Tengah
menjadi sekadar utopia. Usaha perdamaian yang dilakukan hanya bersifat
sektoraldan belum mampu mengakomodasi kebutuhan negara-negara di Timur Tengah khususnya Israel-Palestina. Hal ini malah menciptakan perpecahan yang pada gilirannya hanya
menguntungkan kaum Yahudi. Israel berjanji akan mengembalikan secara
bertahapseluruh daerah Sinai, ladang minyak, serta lapangan udara yang sebelumnya
telah dikuasai Israel. Selain itu, mereka pun berjanji akan memberikan hak
otonom terhadap jalur Gaza di tepi barat Yordania, namun itu semua hanya tipuan yang mempunyai strategi yang kuat.
D. Metode Penelitian
1.
Sifat
penelitian
“Penelitian deskriptif ialah
suatu jenis penelitian dimana peneliti hanya semata-mata menuliskan keadaan
obyekatau peristiwa tanpa maksud menemukan teori yang berlaku secara umum.”[17] Oleh karena itu,
penelitian ini hanya akan mengeksplorasi data dari kepustakaan dan disimpulkan,
sehingga diperoleh jawaban.
2.
Bahan Penelitian
Data yang digunakan diperoleh
melalui Penelitian Kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan
studi pustaka yang terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer, yaitu berupa Peraturan Perundang-undangan.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu berupa teori dan literatur yang berkaitan
dengan permasalahan.
3) Bahan Hukum Tersier, berupa Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Indonesia,
dan Kamus Bahasa Hukum.
4) Bahan hukum lain yang diperoleh melalui internet.
3. Analisis Data
Analisis data adalah data yang diperoleh
dari penelitian kepustakaan kemudian disusun
berdasarkan analisis deskriptif kualitatif, dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif yaitu data yang diperoleh di perpustakaan disusun secara
sistematis setelah diseleksi berdasarkan permasalahan dan dilihat kesesuaiannya
dengan ketentuan yang berlaku selanjutnya disimpulkan sehingga diperoleh
jawaban atas permasalahan.
[1] Robert Jackson dan Georg
Sorensen, Pengantar Studi hubungan
internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2009, hlm. 4-5.
[2]
http://www.google.com/searchperanperan+dewan+keamananpbb
dalamkonflikpalestina-israel, tgl 27 September, 2010, hlm. 1.
[3] James Barros, PBB dulu kini dan esok, Bumi Aksara,
Jakarta, 1990, hlm. 6.
[9] Sumaryo Suryokusumo, Organisasi Internasional, Universitas
Indonesia-Press, Jakarta, 1987, hlm. 1.
[10]Team
Media, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
dan Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional, Media Centre, -, hlm. 9-10.
[14]http://www.KonflikIsraeldanPalestinaWikipediabahasaIndonesia,
ensiklopediabebas.html, (diakses
tanggal 30 Agustus 2014), hlm. 1.
[17] Sutrisna Hadi,Metodologi Research,Yayasan Penerbit
Psikologi UGM, Yogyakarta, 1984, hlm. 43.
(Martinho Noronha Dos Santos)
Komentar
Posting Komentar