HEGEMONI ELIT DI TIMOR LESTE
HEGEMONI ELIT DI TIMOR LESTE
Kekuasaan adalah upaya seseorang atau
sekelompok yang mempengaruhi orang lain yang berada di suatu lingkungan
tertentu dengan tujuan untuk mencapai suatu cita-cita. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan usaha dan kerja keras. Banyak
penguasa di berbagai Negara di belahan bumi ini melakukan berbagai cara untuk
mendominasi suatu wilayah atau lingkungan tertentu. Hal tersebut dimotivasi
oleh planning berupa positif maupun negatif tergantung dari pada mainset atau
pola pikirnya. Ada planning yang pada awalnya bersifat positif namun pada
akhirnya memberi hasil yang negatif, ada pula yang sebaliknya yaitu
merencanakan sesuatu yang negatif namun pada akhirnya memberi hasil yang
positif. Ada juga rencana negatif yang memberi hasil negatif dan sebaliknya. Semuanya
itu tergantung dari pada planning, proses dan kerja keras seorang penguasa
beserta pengikutnya.
Tidak mudah bagi seseorang untuk mendominasi
suatu daerah atau Negara, karena tentu saja ada pesaing politik lain yang akan
bersaing merebut kekuasaan tersebut. Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai
kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain berperilaku sesuai
dengan kehendaknya. (Rafael
Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (jakarta : Rieneka Cipta, 2001 hal, 190).
Pernyataan Weber tersebut bemakna bahwa seorang pemimpin bisa memaksa
pengikutnya untuk berperilaku sesuai dengan kemauannya, keinginan dan
kehendaknya. Politik, demikian dapat saya simpulkan pada instansi pertama
berkenaan dengan pertarungan untuk merebut kekuasaan. Max weber mengemukakan
beberapa bentuk wewenang manusia yang menyangkut pada hubungan kekuasaan.
Yang dimaksudkannya
dengan wewenang (authority) adalah
kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal
oleh anggota–anggota masyarakat. Timor Leste adalah Negara kecil yang masih
mudah dan butuh banyak pengalaman untuk mencapai suatu kemakmuran dan
kesejahteraan. Politisasi di Negara Timor Leste berjalan cukup baik dan
demokratis. Berlandas pada konstisuti RDTL yaitu Pasal/Artigu 62.o( Titularidade no ezersísiu podér
polítiku nian) Podér
polítiku iha povu nia liman, ne’ebé sei hala’o tuir Lei-Inan haruka. dan Artigu 63.o(Partisipasaun polítiku sidadaun
sira-nian)
1.
Partisipasaun diretu no ativu hosi feto no mane sira iha moris polítika nian
mak nu’udar kondisaun no instrumentu fundamentál sistema demokrátiku ninian.
2. Lei
halo promosaun kona-ba igualdade direitu síviku no polítiku nian no la
diskrimina kona-ba seksu iha asesu ba kargu polítiku nian.
Bahwa setiap warga Negara berhak untuk berpolitik, menyampaikan pendapat, ide, dan
gagasan dengan misi membangun RDTL yang makmur, sejahtera dan berdaulat. Namun
tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan politik yang terjadi di Negara muda ini
cukup kompetitif.
Lima Belas (15) tahun merdeka menjadi
Negara yang berdaulat dan menjalankan pemerintahannya sendiri merupakan hal yang
tidak mudah dialami oleh para penguasa Negara RDTL, namun semua itu bisa
diatasi dengan kedewasaan kepemimpinan penguasa Timor Leste. Untuk membangun
Negara baru ini tentunya persaingan politik cukup kompetitif. Anomaly yang
terjadi di Negara ini adalah terdapat istilah “generasi lama dan generasi
baru/penerus”. Generasi lama atau lazim dikenal dengan elit Timor Leste masih
menjadi sosok yang disegangi dan menakutkan di negeri ini, sebab mereka selalu
menjadi penentu situasi Timor Leste, kebijakan para elit Timor bisa berdampak
positif dan juga negatif. Influence positif dari dominasi elit adalah proses pembangunan berjalan cukup baik, seperti
infrastruktur jalan raya, jalan tol, ZEEMS, olipezadu, dan lain sebagainya.
Influence
negatifnya adalah gejolak situasi Negara Timor Leste yang hingga saat ini masih
meresahkan masyarakat. Situasi politik mulai dari tahun 2002-2005 berjalan
dengan baik namun pada tahun 2006 terjadi perang saudara antara Timor Leste
bagian timur dengan Timor Leste bagian barat yang menyebabkan pertumpahan
darah. Kejadian ini melumpuhkan pemerintahan pada periode itu serta kegiatan
masyarakat sehari-hari. Berdasarkan
informasi yang di dapat dari para narasumber tertentu, Peristiwa tersebut
terjadi karena persaingan politik antara para elit. Namun tahun 2007 masyarakat
Timor Leste kembali beraktivitas seperti biasa lagi, roda pemerintahan pun
kembali berjalan normal.
Pada periode 2012-2017 terjadi iklim
politik di rana pemerintahan cukup tinggi sehingga berdampak pada reshuffle kainet/pergantian kabinet pada
Pemerintahan Xanana Gusmao. Kabinet yang di pegang oleh Perdana Menteri Xanana
pada saat itu merupakan gabungan atau koalisi dari beberapa partai seperti CNRT,
PD dan beberapa partai lainnya. Namun, koalisi ini mengalami mati suri alhasil kursi Perdana Menteri
yang di jabat oleh Abo Xanana di
berikan kepada salah satu figure
terbaik anggota Partai Fretilin (Rui Maria De Araujo) yang pada waktu itu menjadi
Partai oposisi Pemerintah. Hal tersebut menjadi pertanyaan bagi masyarakat Timor
Leste dan juga masyarakat internasional, mengapa partai Pemerintah memberi
kursi atau jabatan strategis kepada Rui Maria yang NB-nya anggota aktif Partai Fretilin?
Apakah penyerahan jabatan perdana menteri tersebut melalui proses musyawarah
antara partai koalisi pemerintah? Ataukah seorang Xanana mengambil keputusan
tersebut karena inisiatif sendiri?
Menurut informasi yang didapat dari beberapa
nara sumber bahwa Xanana menyerahkan jabatan tersebut karena hilang kepercayaan
terhadap partai koalisi yang pada saat itu melakukan korupsi di beberapa Kementerian.
Hasilnya Xanana menyerahkan beberapa kursi kementerian kepada partai oposisi (Fretilin)
untuk menjalankan tugas Negara. Isu inipun menjadi perbincangan yang heboh
karena hampir terjadi perpecahan di interen partai koalisi Pemerintah pada
waktu itu. Namun siapa yang tidak kenal dengan Xanana yang memiliki kelihaian
dan kharismatik yang bisa mengambil alih secara absolute untuk mengakhiri
konflik intern tersebut. Founding father Negara TL ini memang diakui
kekharismatikannya oleh rakyat TL. Berbagai konflik terjadi di Timor L, namun
bisa diatasi oleh seorang Xanana dengan saudara-saudaranya yang biasa di
panggil GERASAUN TUAN. Peristiwa bersejarah yang tidak bisa hilang dari imajinasi
rakyat Timor adalah peristiwa perang saudara LORO SAE VS LORO MONU, KEMATIAN
MAJOR ALFREDO, dan KONFLIK XANANA VS MAUK MORUK. Berdasarakan informasi dari
masyarakat bahwa kejadian itu terjadi karena konflik elit, egoisme dan ambisius
menjadi akar dari konflik tersebut. Politisasi di Timor Leste cenderung
mengarah ke hegemoni politik elit, yaitu ketika para elit (generasi lama) masih
menjadi penentu dinamika politik Timor Leste. Dominasi elit yang terjadi di Timor
selama ini memaksa generasi baru untuk beradaptasi dengan situasi dan
lingkungan setempat, sehingga intelektual yang dimiliki oleh jerasaun foun
masih menjadi metafora di negeri ini. Dari klarifikasi singkat di atas
membuktikan bahwa di Timor Leste hingga saat ini masih terdapat oligarki kekuasaan
dan hegemoni elit yang menjadi stigma dan penentu dinamika Negara ini.
Situasi politik di parlamen kembali
memanas pada tahun 2017 setelah Pemilihan Umum Presiden dan Parlemen, yaitu “ketika
partidu maioria parlemen atau Bloku
Opojisaun Aliansa Maioria Parlementar (BOAMP) yang terdiri dari koalisi 3
partai yaitu CNRT, PLP dan KUNTO, menolak RAPBN dari koalisi pemerintah yang
terdiri dari 2 partai yaitu PD & FRETELIN. BOAMP menolak RAPBN dari partai
pemerintah karena mereka menganggap bahwa RAPBN yang di ajukan ke Parlemen
tidak sesuai dengan kebutuhan dasar masyarakat Timor Leste. Disisi lain
penolakan tersebut terjadi karena BOAMP menginginkan kursi atau jabatan
Presiden Parlemen khususnya partai PLP (hasil wawancara GMNTV dengan
Pak.Alkatiri-youtube)”, namun partai koalisi pemerintah menolak untuk
menyerahkan kursi no 1 di Parlemen tersebut, alhasil terjadi konflik politik
yang berkepanjangan di ruang Parlemen. Konflik parlemen berlangsung sudah 4
bulan terakhir ini, kepentingan setiap partai menjadi titik perpecahan Parlemen
tahun 2017. “Berdasarkan statement
dari Presiden Partai PLP yaitu Bapak Taur Matan Ruak bahwa Fretilin harus
memberi Kursi Presiden Parlemen kepada BOAMP yang sekarang sedang di jabat oleh
Aniceto Guterres dari partai Fretelin karena Fretilin sudah memegang kursi
Kepresidenan dan Perdana Menteri” (hasil wawancara GMNTV dengan Presiden Partai
PLP-youtube). Namun hal tersebut menjadi suatu lelucon karena Fretilin
menduduki jabatan sebagai Presiden. Perdana Menteri dan Presiden Parlemen berdasarkan
hasil Pemilihan Umum Presiden, Perdana Menteri dan Parlamentar, dimana Partai
Fretelin memiliki suara terbanyak dan berhak untuk menduduki 3 kursi tersebut.
Partidu Libertasaun Popular (PLP) dan
koalisi berupaya untuk menjatuhkan partai Pemerintah dengan menggunakan
strategi memblok atas semua Program dan Ratifikativu
Orsamentu yang di ajukan oleh pemerintah ke Parlemen. Namun hal tersebut tidak
tercapai hingga sekarang. Untuk merespons atau menanggapi konflik berkepanjangan
tersebut, Presiden diberi mandat oleh Konstitusi RDTL untuk mengambil langkah
dalam menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan pada Pasal 86 Huruf F berbunyi:
Presidenti Desolve Parlamentu Nasional,
artinya bahwa Presiden diberi kewenangan untuk membubarkan Parlamen Nasional.
Berdasarkan pada mandat Konstitusi RDTL
tersebut maka pada tanggal 26 Januari 2018 Presiden mengambil langkah
demokratis untuk mengadakan Eleisaun
Antisipada atau subsekuente eleisaun yang artinya dalam 5 bulan kedepan
akan diadakan pemilihan ulang parlemen dengan tujuan untuk mengisi kembali kursi
kosong di Parlemen. Sebagai Negara demokratis dan masyarakat yang dewasa akan
demokrasi, semoga eleisaun antisipada
yang akan diadakan beberapa bulan kedepan berjalan lancar dan demokrastis,
serta membawa angin segar bagi masyarakat dan Negara Timor Leste.
Martinho Noronha Dos Santos
Komentar
Posting Komentar